Pulau Jawa menyimpan lanskap sejarah yang kaya di setiap sudutnya. Sebagai pusat peradaban dan pemerintahan selama berabad-abad, pulau ini menjadi kanvas bagi percampuran arsitektur yang memukau. Kebanyakan traveler pasti mengenal Kota Tua Jakarta atau Kawasan Kota Lama Semarang. Namun, tahukah Anda bahwa masih banyak kota-kota lain di Jawa yang menyimpan jejak kolonial tak kalah menarik?
Warisan arsitektur Belanda masih bisa kita temukan di berbagai penjuru Jawa. Dari gedung pemerintahan megah hingga rumah tinggal bergaya Indies, bangunan-bangunan ini menjadi saksi bisu sejarah panjang. Saya ingin mengajak Anda menjelajahi beberapa kota tersembunyi yang jarang masuk itinerary wisatawan. Tempat-tempat ini menawarkan pengalaman lebih autentik tanpa keramaian turis.
Lasem: Tiongkok Kecil di Pesisir Jawa Tengah
Lasem di Kabupaten Rembang sering dijuluki “Little China”. Kawasan ini memadukan unsur Tionghoa, Jawa, dan kolonial dengan harmonis. Saat menyusuri Jalan Dasun, Anda akan melihat rumah-rumah kuno dengan fasad unik. Arsitektur Indies bertemu dengan atap bergaya Tionghoa dan ukiran kayu khas Jawa.
Rumah Merah (Oei Sing Bing House) tetap menjadi ikon utama Lasem. Bangunan ini menunjukkan kemewahan masa lalu dengan detail arsitektur yang terjaga. Bekas Kantor Pos Belanda juga masih berdiri kokoh di kawasan ini. Yang membuat Lasem istimewa adalah kehidupan yang terus berdenyut di dalam bangunan tua. Banyak keturunan keluarga Tionghoa masih menempati rumah leluhur mereka.
Tegal: Jejak Kejayaan Industri Gula
Tegal kini terkenal dengan warung kopinya, namun dulu kota ini merupakan pusat perdagangan gula. Jejak kejayaan masa lampau terlihat jelas di sekitar Alun-alun Tegal. Gedung Papak (Societeit de Vereniging) menjadi bukti kemegahan arsitektur Neoklasik. Bangunan ini dulu menjadi pusat sosial masyarakat Belanda.
Di kawasan Slawi dan Adiwerna, Anda bisa menemukan bekas kompleks pabrik gula. Meski tak utuh lagi, sisa-sisa struktur industri ini menggambarkan sisi lain sejarah Jawa. Bayangkan kereta api uap mengangkut tebu melintasi rel-rel yang kini telah hilang. Peninggalan ini menunjukkan bagaimana ekonomi kolonial beroperasi di wilayah ini.
Cirebon: Simpul Budaya di Jalur Pantura
Cirebon menawarkan perpaduan unik tiga budaya: keraton Islam, Tionghoa, dan kolonial Belanda. Kawasan Jalan Siliwangi menjadi saksi percampuran ini. Gedung Keuangan Negara (Landsgebouw) berdiri megah dengan pilar-pilar kokohnya. Kantor Pos Besar Cirebon bergaya Art Deco memamerkan keanggunan arsitektur era 1920-an.
Gereja Santa Maria de Fatima juga patut Anda kunjungi. Bangunan ini menunjukkan adaptasi gaya Eropa dengan iklim tropis. Gedung Dinas Perhubungan menarik karena sejarah transformasinya. Awalnya rumah kapiten Tionghoa, kemudian beralih fungsi di era kolonial. Cirebon mengajarkan kita tentang dialog budaya melalui arsitektur.
Pasuruan: Kota Tua yang Terlupakan
Pasuruan sering terlewat dari peta wisata sejarah. Padahal kota ini menyimpan harta karun arsitektur kolonial yang autentik. Kawasan Alun-alun Pasuruan menjadi titik awal eksplorasi. Masjid Agung Al-Anwar memiliki cerita unik karena dibangun di atas fondasi gereja kolonial.
Bangunan Ex. Kantor Residen masih terawat baik dan kini berfungsi sebagai kantor pemerintah. Jalan Dr. Sutomo dan Jalan Veteran menyajikan deretan rumah tua bergaya Indies. Rumah-rumah ini menggambarkan kehidupan kelas menengah Belanda di masa lalu. Dengan teras luas dan jendela tinggi, bangunan ini dirancang untuk iklim tropis.
Probolinggo: Gerbang Bromo yang Bersejarah
Sebelum menjadi kota transit menuju Bromo, Probolinggo merupakan pusat administrasi penting. Jejak kejayaan kolonial terlihat di sepanjang Jalan Suroyo. Gedung Nasional (dulu societeit) memadukan gaya Renaissance dengan arsitektur tropis. Rumah Dinas Walikota yang dulunya rumah residen memiliki taman luas yang asri.
Pelabuhan Probolinggo menyimpan cerita lain. Mercusuar kuno dan gudang tua masih bisa Anda temui di sini. Meski kondisinya sudah memprihatinkan, bangunan-bangunan ini memberi gambaran tentang pentingnya pelabuhan di masa lalu. Probolinggo membuktikan bahwa kota transit pun memiliki sejarah panjang.
Madiun: Kota Garnisun dengan Arsitektur Militer
Madiun berkembang berbeda dari kota pelabuhan. Sebagai kota garnisun, arsitekturnya mencerminkan fungsi militer. Benteng Van Den Bosch (Benteng Pendem) menjadi ikon utama. Meski kini tinggal reruntuhan, benteng ini menggambarkan strategi pertahanan Belanda.
Kantor Pos Madiun bergaya Art Deco tetap berfungsi hingga sekarang. Gedung DPRD yang dulu rumah residen juga terpelihara dengan baik. Tata kota Madiun masih mengikuti pola kolonial: alun-alun sebagai pusat, dikelilingi bangunan penting. Dari sini, Anda bisa berjalan kaki ke Stasiun Madiun melewati deretan rumah toko lawas.
Blitar: Kota Kecil dengan Warisan Besar
Blitar tak hanya kota kelahiran Bung Karno. Kota ini juga memiliki bangunan kolonial yang menarik. Kawasan Alun-alun Blitar mempertahankan beberapa bangunan bersejarah. Gedung Negara (bekas rumah residen) dikelilingi taman yang luas.
Gereja Katolik Santo Yusuf menampilkan gaya Gothik sederhana yang elegan. Untuk pengalaman berbeda, kunjungi PG Rejo Agung Baru di Sukorejo. Pabrik gula ini masih beroperasi dengan peralatan tua. Anda bisa melihat langsung proses produksi gula tradisional di lingkungan bersejarah.
Kenapa Harus Mengunjungi Kota-Kota Ini?
Kota-kota kecil menawarkan pengalaman berbeda. Pertama, keautentikan terjaga lebih baik. Bangunan kolonial di sini tidak terkepung gedung pencakar langit. Kehidupan sehari-hari masih berlangsung alami di sekitarnya.
Kedua, suasana lebih tenang. Anda bisa menikmati arsitektur tanpa kerumunan turis. Ada waktu untuk kontemplasi dan membayangkan kehidupan masa lalu. Ketiga, setiap kota punya keunikan sendiri. Lasem dengan percampuran budayanya, Tegal dengan jejak industri gulanya, atau Madiun dengan karakter militernya.
Terakhir, rasa penemuan. Anda akan merasa seperti menemukan harta karun tersembunyi. Detail arsitektur yang luput dari perhatian umum, atau cerita lokal yang tidak tertulis di buku panduan.
Tips Menjelajah Kota Tua Kolonial
Saya punya beberapa saran untuk perjalanan Anda. Jelajahi dengan berjalan kaki. Kecepatan lambat membantu Anda menangkap detail-detail kecil. Bicaralah dengan warga lokal. Mereka sering mengetahui cerita-cerita menarik yang tidak tercatat.
Kunjungi pada pagi atau sore hari. Cahaya matahari saat itu paling ideal untuk fotografi. Suasana juga lebih teduh untuk berjalan-jalan. Hormati privasi warga. Banyak bangunan masih berfungsi sebagai rumah tinggal. Mintalah izin sebelum memasuki properti pribadi.
Cicipi kuliner lokal. Lengkapi pengalaman sejarah dengan rasa tradisional. Warung kopi tua atau pasar tradisional bisa memberi gambaran lengkap tentang kehidupan kota.
Melampaui Destinasi Utama
Jawa menyimpan banyak lapisan sejarah. Setiap kota berkontribusi pada mosaik besar perjalanan bangsa. Bangunan kolonial bukan sekadar peninggalan penjajahan. Mereka juga menunjukkan kemampuan adaptasi dan akulturasi.
Kota-kota seperti Lasem, Tegal, atau Pasuruan mengingatkan kita bahwa sejarah terjadi di mana-mana. Tidak hanya di ibu kota atau tempat terkenal. Di setiap sudut jalan, di setiap bangunan yang bertahan melawan waktu.
Pertimbangkan untuk mengeksplorasi jalur yang kurang populer. Anda mungkin akan menemukan pengalaman paling berkesan di tempat yang tak terduga. Dialog dengan masa lalu terjadi lebih intim tanpa gangguan keramaian.
Jelajahi juga pesona sejarah lainnya di [Kota Tua Jakarta] – tempat di mana masa lalu bertemu dengan dinamika ibu kota modern.
Baca Juga : Wisata Bertanggung Jawab: 8 Etika Penting Sebelum Anda Mengunjungi Spot Alam Indonesia




